Selasa, 08 September 2009

Hukuman mati, Ya atau Tidak?

Hukuman Mati

21 October 2008

Salah satu metode hukuman mati adalah gantung

Setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Berbagai alasan dikeluarkan untuk menentang hukuman mati. Alasan utamanya adalah melanggar hak hidup dan tidak memberi kesempatan bagi sang terpidana untuk memperbaiki diri.

Mereka mungkin akan bersuara lain bila berada pada pihak yang dirugikan oleh terpidana. Jamak terdengar pihak keluarga seorang korban pembunuhan dengan keras menuntut pelaku dihukum mati. Orang-orang yang menderita secara langsung atau tidak dengan narkoba, menuntut pengedar narkoba dihukum mati. Tak sedikit pula yang menuntut para koruptor dihukum mati. Dan juga soal hukuman mati kepada para ‘teroris’. Lalu, kenapa pihak-pihak yang kontra hukuman mati tidak berkata apa-apa terhadap mereka? Menjelaskan pada pihak korban agar mereka menarik permintaan mereka agar sang pelaku dihukum mati. IMO, kalau mereka melakukan hal tersebut, maka pamor mereka akan hancur :p.

Layak atau tidaknya hukuman mati seharusnya ditilik dari kejahatan yang dilakukan. Ambil contoh ekstrim: Seseorang yang melakukan atau memerintahkan pembantaian, apa pantas untuk diberi hak hidup? Lalu kemudian ia dapat hidup, dibiayai oleh negara bahkan mungkin mendapatkan ‘fasilitas’ tambahan entah dari mana, karena ia cukup mendapat hukuman penjara. Padahal di lain pihak, sebenarnya dengan manajemen yang baik, orang-orang yang dihukum penjara (termasuk penjara seumur hidup pun) masih bisa dikaryakan bukan hanya menghabiskan uang negara. Sebagai contoh, membuat kerajinan tangan, mengerjakan proyek pembukaan lahan (tentu dengan pengamanan tambahan), atau hal-hal lain yang mungkin secara logika dikerjakan oleh seorang narapidana.

Efek yang diharapkan dari hukuman mati bukankah tidak sekedar untuk ‘membayar’ kejahatannya saja, melainkan juga untuk memberikan semacam peringatan agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama?

Kalau dilihat di Indonesia, sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Merujuk kepada data yang tertulis di Wikipedia, ada 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Hukuman mati di China dengan cara tembak
Memang, praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.

Kembali ke Indonesia, sampai saat ini teknik hukuman mati yang berlaku adalah ditembak mati. Seorang terhukum akan dihadapkan kepada regu tembak 8-10 orang dengan senjata dan peluru tajam. Namun apabila sampai waktu tertentu terpidana, tidak meninggal maka sang komandan akan mengambil pistol dan menembak kepala terpidana dari jarak dekat. Kalau kita hitung, masih ada jeda antara terpidana ditembak dan meninggal, tentu saja hal ini akan sangat menyakitkan bagi terpidana...tapi mau apa lagi, sampai sekarang belum ada amandemen tentang tata cara hukuman mati.

Cara yang lain yang sepertinya paling nyaman adalah suntik mati. Metode suntik mati terdiri dari 3 tahap suntikan. Suntikan pertama adalah untuk membius, menghilangkan kesadaran. Suntikan ini mirip dengan pembiusan biasa, hanya saja dosisnya jauh lebih tinggi, 8 sampai 20 kali lipat dosis bius biasa. Tahapan pertama ini merupakan tahapan paling penting mengingat jika gagal, maka suntikan tahap kedua dan ketiga tidak lagi terasa nyaman, tapi justru sangat menyakitkan. Suntikan selanjutnya diberikan dalam kondisi terhukum sudah pingsan total. Suntikan ini ditujukan untuk melemaskan otot. Begitu obat ini disuntikkan, otot akan tidak berfungsi sama sekali. Adapun suntikan terakhir ditujukan untuk menghentikan fungsi jantung. Jika proses ini berjalan lancar, maka terpidana tidak akan merasa sakit sama sekali.
Gambaran singkat hukuman mati dengan cara suntik

Kita tidak perlu berbicara tentang ada agama yang mendukung keberadaan hukuman mati dengan yang tidak, tentu saja itu akan menjadi debat kusir yang berkepanjangan. Namun jelas, di hukum keenam di dalam Alkitab tertulis, "Jangan Membunuh", yang juga dapat diartikan bahwa kita pun tidak boleh membunuh sesama kita.

Memang membingungkan kalau berbicara tentang hukuman mati, ada banyak pro dan kontra. Tidak cukup hanya melihat dari sisi hukum, agama, sosial & kebudayaan yang berlaku, inferensi negara asing, tapi masih banyak hal lain yang tetap harus dipertimbangkan. Yang jelas, saya lebih setuju dengan kalimat, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Saat ini kita hidup di NKRI yang memiliki hukum. Hukum di Indonesia memang tidak sempurna, ya karena yang membuat juga masih manusia, namun hukum membuat banyak hal lebih teratur. Apakah seseorang layak dihukum mati atau tidak, marilah kita serahkan kepada mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia.

Satu hal lagi. Jika saya ditanya, "Apakah hukuman mati perlu diterapkan di Indonesia?", saya akan jawab, "Tidak Perlu" dan saya tidak akan memberi alasan tambahan.

Ditulis oleh Wijoyo Batara Frans Simanjuntak pukul 19:42

0 comments:

Posting Komentar